Surat Buat Axel Oleh: Arsusi Ahmad Sama?®n
Hong Kong, 12-Agustus-2004 Dear Axel,
Xel, aku sudah menerima suratmu, ceritamu membuatku terhanyut, hingga berkesempatan untuk memikirkan kisah cintamu yang kukira pasti penuh dengan dilema.
Tapi begitulah kenyataan Xel, Kenyataan yang ternyata sangat perkasa, dia selalu mengalahkan kita dan memaksa kita untuk berfikir lebih jauh sebelum menyerah. Aku yang bernotabene orang bebas juga kalah dengan kenyataan. Pernikahanku yang kemarin itu juga sempat meninggalkan luka yang teramat dalam pada diri gadis manis blesteran jawa?œhina, dia adalah kekasih suamiku yang terpaksa mesti ditinggalkan olehnya.
Walaupun kenyataannya, perpisahan mereka bukan semata-mata salah suamiku, apalagi salahku, menurutku, mereka terpisah oleh karena miss communication saja. Sejak semula ayah si gadis tak pernah merestui percintaan mereka, sehingga mesti back street. Suamiku pernah bercerita, dulu mereka pernah serumah, bahkan gadis itu sempat hamil dan digugurkan.
Berfikir ke masa depan akhirnaya mereka membuat perjanjian: berpisah bekerja untuk sementara.
Berawal dari perpisahan itulah terjadi kesalah fahaman yang kumaksud, ketika suamiku menelepon gadis itu yang mengangkat selalu laki-laki yang mengaku sebagai suaminya, dan tidak cukup sekali, jawaban ini berkali-kali. Hingga membuat suamiku yakin jika gadis itu memang sudah menikah.
Selama 5 tahun, suamiku sendiri menikmati luka, dia bekerja diantara kepingan putus asa, dan beberapa dilema, hingga suamiku benar-benar lupa.
Xel, Pertemuan kami terjadi pada suatu senja, ketika dia berjalan-jalan di mall dan berjumpa dengan aku, kita senang-senang saja berkenalan, saat itu dia sedang menunggu temannya yang baru pulang dari Taiwan.
Bicara punya bicara, ternyata dia jebolan Institute Pembangunan Surabaya, yang langsung aku sambut dengan anggukan kepala dan ucapan,? ku juga dari Institute Pembangunan Surabaya, jurusanku tehnik komputer dan bla.. bla?Žla.. Begitulah, kita berdua langsung akrab, diteruskan dengan saling membagi nomer telepon dan Yahoo ID, juga masih banyak lagi kata yang kita bagi obral dengan suka rela.
Dari waktu-kewaktu semakin akrablah kita, hingga suatu waktu dia cerita mengenai masa lalu dan pacar-pacar dia, aku asyik saja, aku juga cerita semau gue, seenak hati dan perutku.
Nah, tiga bulan kemudian ada surat melayang, yaitu surat cinta dari dia, wah kalau kamu tanya bagaimana perasanku saat membaca surat cinta itu, aku benci sekali sama dia, aku maki-in dia dan aku marahi dia, sebab aku sedang alergi dengan rayuan cowok,aku barusan disakiti cowok. Tapi dia nggak nyerah, terus nyerang dan bilang terus terang; jika dia itu tidak main-main!
Dari bulan ke tahun, sampailah ke acara tunangan, dan sesuai rencana pernikahan akan digelar pada awal agustus 2004, tetapi oleh karena pada akhir maret 2004, gadis manis blesteran jawa-china itu muncul, dan kemunculannya ternyata untuk mengajak suamiku menikah, dengan alasan: semuanya terlalu indah, yang artinya gadis itu tidak bisa melupakan suamiku sama sekali. Ini kenyataan Xel, aku juga tidak bisa membayangkan jika masa lalu itu ada di fihakku, masa lalu yang romantis dan penuh liku-liku, penuh rekayasa dan upaya, baik dari fihak mereka berdua ataupun dari fihak orang tua. Karena sebuah tipu daya mereka pernah membuat suamiku putus asa, terhempas dan jatuh tersungkur.
Suamiku pernah bilang, bersamaku dia merasa menemukan rasa dan asa, senada dengan keyakinan cintanya kepadaku, entahlah, hanya Tuhan Yang Tahu, apakah pengakuan ini jujur atau tidak.
Xel, sebuah kenyataan terungkap; jawaban di telepon, yang mengatakan gadis itu sudah menikah adalah sebuah rekayasa dan usaha orang tua gadis itu, yang tujuannya sudah jelas supaya suamiku tidak segan-segan untuk meninggalkan gadisnya yang manis saat itu.
Begitulah Xel, kenyataan ini reflek dan otomatis membuat suamiku terguncang hatinya, dia kelabakan, kelimpungan bahkan mungkin juga sekarat. Karena berdiri diantara dua kenyataan yang sama berat; aku sudah dipinang, waktu sudah ditentukan, sedang gadis itu adalah masa lalunya yang teramat indah untuk dilupakan.
Sepintas, aku bisa merasakah keadaan hati suamiku, dia pasti shock!!!
Ada yang membuatku bersyukur Xel, suamiku jujur padaku, hingga akupun ikut memikirkan dia, terpaksa kuputuskan untuk segera pulang.
Mendengar keputusanku untuk segera pulang, dia sempat kaget dan bingung. Mungkin dia takut jika aku sudutkan, padahal kepulanganku hanya ingin kejelasan yang jelas, dan kalau bisa bertemu dan di selesaikan bertiga dengan gadisnya, jadi tidak ada keinginanku untuk memaksa dia menikahiku, cuma ada sesuatu hal yang harus dia lakukan jika ingin membatalkan pernikahan, dia harus menghadap keluargaku, dan masalah harus selesai sebelum hari pernikahan tiba. Keras yah? Mungkin? Tetapi tidak ada satupun kekuatan untuk membela harga diri orang tuaku selain syarat itu. Percintaanku sudah terlanjur melibatkan dua keluarga, jadi aku juga tidak mau keluarga-keluarga itu jadi korban keegoisan kami berdua.
Hampir seminggu aku dirumah, kami belum memiliki keputusan, hingga aku tawarkan; Bagaimana kalau kita jalan sendiri-sendiri, dan kamu bebas! Dia tersenyum, dan senyum yang kurasa sangat manis diantara senyum-senyum selama seminggu itu, aku berdiri dan hendak meninggalkan dia, dia seret aku duduk. Dia bilang; okey, kita tunda pernikahan?br> Aku buka taganku, dan tanya: untuk apa menunda pernikahan? Dia jawab, biar tidak semata aku menyakiti dia, atau kalau bisa kita menikah di Hong Kong saja. Aku berdiri tepat didepannya sembari berucap: aku tidak akan pernah menunda pernikahan, pilihanmu hanya dua, menikah sekarang atau bubar sekarang!
Itulah Xel, sepenggal kalimat terpedasku terpaksa keluar dari kerongkongan, karena menurutku menyakiti sekarang atau nanti itu sama saja akibatnya, dan aku, seandainya di pinta untuk memilihpun, aku memilih disakiti sekarang daripada nanti, betul nggak Xel? Dan kamu tahu bagaimana reaksi dia, ketika mendengar dua pilihan yang kutawarkan, Wuaah Xel, muka dia merah padam, aku jadi tidak tega, tapi aku memang tidak punya kata yang lebih baik dari semua yang telah aku ucapkan pada dia. Dan itulah kenyataan
Aduh kenyataan-kenyataan??br> Axel, kamu tahu, hingga saat ini aku merasa masih ada yang mengganjali pernikahan kami, karena suamiku belum memberitahukan keputusannya pada gadisnya. Aku sudah sarankan pada suamiku agar menghubungi gadis itu, untuk menjelaskan dan minta maaf atas semua kesalahnnya, tetapi jawabnya selalu nanti dan nanti, dia belum mau, dan aku sedih? Kenapa aku sedih, karena aku benar-benar ingin dia minta maaf, karena hubungan mereka sudah jauh sekali, aku ingin karma anakku tidak terlalu jauh seperti itu, karena ini dosa orang tua, bukan dosa anak-anak.
Ah, entahlah Xel ?
Mentari yang telah ditakdirkan untuk menyinari bumipun kadang juga harus kalah dengan mendung tipis, apalagi kita yang lemah dan banyak tingkah?
Axel, Mulai sekarang aku akan banyak belajar dari kenyataan, kenyataan yang sering sekali menyudutkan aku, kenyataan yang membuatku merasa tidak berdaya.
Xel, ada hal positif yang saya dapatkan dari kenyataan, yaitu: keadaanku yang semakin percaya dengan takdir Tuhan, yah takdir Tuhan Xel, apapun dan bagaimanapun kenyataannya kita hanyalah sebuah kelemahan jika dibandingkan dengan kuasa Tuhan. .
Begitulah kisah cintaku dengan suamiku, dan semoga Axel senang membacanya, akhirnya semoga Axel baik-baik saja, dan bisa menjadi lebih baik setelah keluar dari penjara. Pesanku: jangan biarkan penjara membatasi cita-citamu, membatasi pandanganmu dan menghalangi taubatmu, ingat! Tuhan itu Maha Cinta Kasih dan Penyayang, siapapun berhak minta disayangi dan di cintai, juga diampuni oleh-Nya.
Pokoknya jangan biarkan siapapun menghalangi hubunganmu dengan Tuhan, is your personal affair with God. Okey?
Dari sahabatmu, Bunga Kamboja.
Stress! Oleh: Arsusi Ahmad Sama’in
Suara Ratna terasa menggelegar ditelinga Ani, ketika dia memaksanya untuk bisa menulis, Ani sebel, Ani muak mendengar kata-kata kakaknya yang selalu meminta Ani untuk belajar menulis, menulis apa saja, menulis isi hati, menulis keresahan atau menulisan kebimbangan dan lain sebagainya. Ani yang cuek tak pernah menghiraukan permintaan kakaknya, pikir Ani, ini adalah pemaksaan hobby!
Sebenarnya Ani sayang sekali dengan kakaknya yang satu ini, menurut Ani, dia adalah tipe kakak yang bisa dijadikan pelindung sekaligus penampung keluh kesahnya, tidak seperti kakak-kakaknya yang lain, yang kesemuanya sibuk kuliah dan bekerja diluar kota. Kakaknya yang satu ini, meskipun cerdasnya melebihi kakak-kakak Ani yang lain, dia tetap memilih kuliah di kota sendiri, dengan alasan; dimana-mana kuliah itu sama saja, lulus juga mesti cari kerjaan sendiri, cari makan sendiri, kalau tidak belajar juga tidak pintar, lagipun Ratna merasa kebutuhan hidupnya akan lebih terjamin selama kuliah, jika ia tetap tinggal bersama keluarga.
**
Tanpa diduga oleh Ratna, sore ini Ani mengajaknya mengunjungi Nida, teman sekelas Ani yang sedang sakit. Menurut kabar, Nida sakit stress. Dia stress oleh karena terlalu banyak beban fikiran, kemudia dia tidak tahu, bagaimana caranya mengeluarkan jejalan beban fikiran itu. Sementara, kapasitas pikiranya terbatas dan tidak sanggup untuk menampung segala problema hidupnya.
Nida stress!!
Memprihatinkan!
Begitulah keadaan Nida sekarang, tubuhnya kurus, pucat dengan tatapan matanya yang benar-benar kosong. Menurut neneknya, sekarang Nida juga suka duduk sendiri dikeremangan malam, berdiri di depan pintu dan berjalan penuh ketegangan.
Ani menangis saat melihat keadaan Nida. Didalam hatinya, Ani sangat menyayangkan cara berfikir Nida yang terlalu berlebihan, tanpa menengok pada kekuasaan Tuhan, yang pada akhirnya akan membuat dia stress sendiri. Ah, beruntung aku punya kakak banyak, kakak yang sudah terdidik untuk menyayangi adik-adik dan keluarga.
Dari samping, Ratna melirik Ani penuh selidik, dia tidak berucap tidak juga memeluk Ani yang menangis, entah apa yang ada dipikiran Ratna mengenai adiknya itu. Nenek Nida sibuk memberikan tisu dan air putih pada Ani, sembari menenangkannya. Mengenai sikap Nida pada Ani, sudah bisa ditebak, dia hanya melirik dan mengunci mulutnya tanpa kedip mata, tidak ada air mata atapun tawa. Hampa!
Ratna menoleh, memberi isyarat pada Ani untuk pulang,”Ani, mau hujan!” teriak Ratna dengan nada jelas tertahan. Ani manggut-manggut, dan pamit.
Dalam perjalannan pulang, Ani lebih banyak diam daripada bicara seperti biasanya,”Kamu kenapa An, stress juga?!” tegur Ratna setengah bercanda, kontan Ani melayangkan tinjunya pada kakaknya wuss..,”enak saja stress! Memang aku Nida!”protesnya sembari memonyongkan mulut.
“Kamu belajar nulislah An, benar ini, serius An, bisa menulis itu penting, sangat penting, karena suatu saat kamu pasti akan kesulitan untuk berbicara dengan orang lain, seperti yang terjadi pada Nia sekarang, kalau boleh saya menilai; Nida itu sebenarnya waras kok, terbukti dia masih bisa pulang-pergi kemanapun, bahkan dia juga memiliki inisiatif untuk refresing di pantai, dia renang dan mandi berbaur dengan ombak, bayangkan? Nida itu cuma bingung, dia tidak bisa melepaskan fikirannya sendiri, dia tidak bisa menemukan orang yang tepat untuk mendengarkan masalahnya, dan akhirnya kamu tahu sendirikan? Dia ngengkleng! Tahu artinya ngengklengkan? Kalau tidak tahu, ya seperti Nida itu; diam, bengong, hampa, dan yah seperti yang kamu lihat tadi itu, yang disebut ngengkleng. Itulah sebabnya An, kenapa aku selalu menyuruhmu belajar menulis, ini bukan pemaksaan hobby, tetapi lebih karena psikology, aku sayang kamu An, aku ingin hal yang terbaik untukmu, ngerti?” Jelas Ratna panjang lebar. Ani menjawab dengan mendesah sebari ngomel, menullis lagi, menulis lagi…
**
Sampai dirumah, terlihat ayah dan ibu mereka sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan yang tampak serius sekali, duduk berhadapan dikursi, suara televisi yang keras seakan tidak mengganggu percakapan mereka. Ani dan Ratna saling berpandangan di depan pintu, Ani menahan Ratna kakaknya masuk dulu,”biarlah kita coba menunggu hingga mereka tersadar, jika kita berdua berdiri didepan pintu ini,” ucap Ani lirih yang disambut dengan senyum Ratna. Beberapa saat kemudian mereka berdua terbawa arus perbincangan orang tuanya, terutama Ratna.
Mereka berdua ternyata sedang sibuk memperbincangkan berita-berita miris tentang TKI yang
bunuh diri; ada yang menenggak obat-obatan, ada yang terjun dari lantai yang tidak bisa dibilang rendah, dan sebagianya. Mendengar itu semua, ada sesuatu yang rasanya ingin dimuntahkan oleh Ratna, sesuatu yang telah mengendap cukup lama di lubuk hatinya, mereka berdesak dan saling menghentak.
Sejak lama Ratna sudah memperhatikan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan bunuh diri, oleh sebab itulah kenapa dulu Ratna memilih kuliah dibagian psikology, dia benar-benar ingin mempelajari dan kalau bisa menyelamatkan jiwa-jiwa yang putus asa.
Hati Ratna menembus cakrawala yang tiada jeda, tiada batas dan warna, Ani jadi bingung melihat kakaknya melamun, dilambaikan tangannya tepat didepan wajahnya, untuk memastikan jika kakaknya masih terjaga.
“husst! husstt!” Ani meniupkan bisikan sambil menyenggol-nyenggol tubuh kakaknya, matanya memberikan isyarat, mengajak masuk keruang tengah, dimana ayah dan ibunya sudah terdiam memandangi kedua anaknya yang mematung di depan pintu tengah.
“kalian kenapa, kok berdiri didepan pintu?”ibunya memecah keheningan.
“nggak apa-apa, saya kira ibu dan ayah sedang serius, terus saya tidak mau mengganggu, kutahan Kak Ratna masuk dan….. begitu saja.”jawab Ani tanpa ekpresi apa-apa.
Ratna terkesiap ketika melihat koran Jawa Pos ditangan ibunya,”Bu, Koran,” ucap Ratna sebari memberi isyarat supaya koran itu diberikan padanya, ibunya mengulurkan koran tanpa basa-basi, ayahnya nyeletuk,”lihat halaman nasionalnya, ada TKI bunuh diri lagi, diduga karena stress, barusan juga diberitakan di tv.” Ratna tak menyahut, dia langsung membuka halaman nasional. Benar juga, Ratna menemukan berita; ada 13 TKW mati di Hong Kong, terhitung sejak 8 bulan yang lalu, dijelaskan 2 karena sakit, 3 karena kecelakaan ketika bekerja, 8 murni bunuh diri yang kesemuanya oleh karena stress.
Ratna diam termenung sesaat, dia jadi ingat Nida, ada dua kemungkinanan yang akan terjadi pada Nida; dia akan gila atau akan nekat bunuh diri, jika tidak segera menemukan jalan keluar dari apa yang sedang difikirkan, Nida harus segera ditolong, Nida harus dipalingkan kearah Tuhan, walau pada kenyataanya, tidak mudah bagi manusia untuk mengajarkan sebuah kepercayaan yang penuh tentang Tuhannya kepada manusia lainya, karena semua itu termasuk kuasa Tuhan, tetapi tetap harus dicoba, setidaknya kita bisa mencoba untuk memberitahunya, yah kita harus mencoba, hasil? Itu urusan Tuhan. Batin Ratna berkecamuk aduk oleh berbagai nada dan kata.
Ratna meletakan Koran di meja, dia berdiri pamit ke ibu bapaknya hendak mandi, Ani membuntuti. Mereka berdua saling diam.
**
Adzan magrib baru saja berhenti, ketika Ratna keluar dari kamar dan menyalakan tv, kebetulan Ani sudah sedari tadi duduk didepan tv, dia sedang membaca koran tadi pagi.
“Ani, besuk kita kerumah Nida lagi ya?” ucap Ratna tiba-tiba.
“Kenapa Kak, kangen?” jawab Ani ngeledek.
“Bukan, hanya ingin tahu saja.” Jawab Ratna singkat.
“Oooo.. kirain kangen…” sambil mengedipkan mata Ani menjawab.
“Aku serius An! Aku ingin tahu perkembangan Nida, apakah dia membaik atau memburuk.” Jawan Ratna tegas.
“Aduh, aduuuh.. mentang-mentang mahasiswa psikolog, hmm.. hati-hati loh Kak, jangan keseringan bergaul dengan orang stress, nanti jatuh cinta sama orang stress he he ..” Ani cengengesan, meletakan koran dan berjalan mendekati tempat duduk kakaknya. Ratna memandangi adiknya dengan senyum tipis dan hendak melemparkan remot tv kearahnya, biasa, mereka selalu bercanda. Dan hal seperti ini adalah salah satu alasan yang membuat Ratna tidak mau kuliah jauh-jauh dari rumah, dia takut sekali kehilangan waktu bersama ayah, ibu dan adiknya.
Ratna merasa sayang untuk berjauhan dengan keluarganya, karena dia merasa tidak tahu, sampai kapan mereka bisa bersama, mungkin sampai saatnya kerja, mungkin juga sampai saatnya menikah, atau entahlah, dia selalu tidak tahu dan tidak akan pernah tahu!
“Apa yang akan Kakak lakukan besuk, setelah ketemu Nida?” Tanya Ani tegas.
“Aku hanya ingin melihat perkembangannya saja, kalau bisa juga, aku ingin mendapatkan keterangan yang lebih banyak tentang masa lalu Nida dari keluarganya, karena bagaimanapun penting untuk mengetahui masalalu seorang penderita stress bagiku, aku ingin sekali membantu dia, membantu untuk meluruskan pikirannya.”jawab Ratna diplomatis.
“Terus kalau Kak Ratna nggak berhasil mendapatkan keterangan, apa yang akan kakak lakukan untuk Nida?”
“Yah, Nida harus dikenalkan dengan Tuhannya, karena sedikit banyak stress juga dipicu oleh keadaan hatinya yang tidak bisa sepenuhnya menerima takdir dan keputusan Tuhan.” Jelas Ratna pada Ani, yang diteruskan dengan jawaban Ani yang setuju, jika besok sore diajak menengok Nida.
**
Sore ini Nida sudah bisa tersenyum, menurut keluarganya dia baru saja diobati oleh seorang dukun. Ani tidak perduli siapapun yang mengobati, yang penting bagi Ani, Nida bisa tersenyum itu sudah merupakan kebahagiaan tersendiri.
Ani menyenggol Ratna, ketika melihat senyum Nida yang lama-kelamaan dirasa aneh. Nida memiliki senyum aneh! Sebuah senyum tanpa arah yang jelas, matanya tetap kosong, pandangannya serasa tak tembus kearah manapun. Benar-benar aneh, Nida aneh!
Ratna serius memandangi gerak-gerik Nida, tampak sesekali dia bercakap-cakap dengan neneknya, adiknya juga kakaknya. Ratna ingin membawa Nida ke dokter jiwa, agar segera memperoleh pertolongan pertama, sedikitnya Nida akan mendapatkan obat penenang untuk saraf otaknya.
Menurut Ratna, kunci dari ini semua adalah ketenangan, jika Nida tenang itu akan lebih baik buat perkembangan psikisnya, awal dari stress itu adalah ketidak tenangan yang berlebihan.
Masih menurut Ratna, dilihat dari sikap Nida yang suka berjalan mendekati pintu, membuka lalu berdiri tegak, memandang halaman luar dengan tatapan jauh, itu adalah bentuk kesadaran alam bawahnya yang ingin segera kosong, lepas dan hilang semua dari kepalanya. Begitu juga dengan keinginan dia pergi kepantai, berenang, dan kesukaanya dia duduk sendiri dikeremangan, ini membuktikan jika Nida itu perlu ketenangan, Nida ingin kesunyian, percaya atau tidak kehadiran seekor lalatpun akan mengusik ketenangannya jika dia sedang ingin sendiri, dan kalau sudah begini hati-hati, Nida bisa menyerang apapun yang dirasanya mengganggu, dan ini berbahaya buat perkembangan psikisnya, dia bisa gila!
Terlihat keluarga Nida mengerti dengan apa yang diucapkan Ratna, bahkan yang membuat mereka senang Ratna siap membantu biaya dokternya, Ratna juga akan mencari bantuan keteman-teman se-kampusnya jika ternyata biaya perawatan Nida dirasa terlalu mahal.
**
Di Rumah Sakit, Dokter memberikan keterangan; Nida hanya stress biasa, dengan membiarkannya beristirahat dengan tenang, pikirannya akan pulih kembali.
“Biarkanlah Nida tinggal di rumah sakit ini barang tiga atau empat hari,” pinta dokter pada rombongan Ratna.
“Iya dok, boleh ditemani atau tidak?” Tanya Ratna penuh harap.
“Boleh, selama Nida tidak merasa terganggu, tetapi kalau Nia merasa terganggu, itu tidak boleh.” Jawab dokter lugas dan jelas. Ratna tersenyum paham dengan maksud dokter.
Satu hari, dua hari hinga 3 hari, hingga 4 hari Ratna menghitung keberadaan Nida di rumah sakit, belum ada kabar yang menghampiri telinganya, ada rasa sedih di hati Ratna, karena Nida tidak mau dijenguk oleh siapapun tidak kecuali dirinya, padahal besar keinginan Ratna untuk bisa melihat perkembangan Nida dari jarak yang sangat dekat.
Hugh! Ratna melenguh, dia sebal karena hingga hari kempat dia belum mendapatkan kabar apapun tentang perkembangan Nida. Dia bangkit dari tempat tidur, berjalan mendekat jendela dan membukanya. Diluar ternyata hujan belum reda.
Tit ti tit…tit tit tit tit.... ada SMS masuk ke mobile phone Ratna. Ratna berbalik dan memeriksa isi SMS-nya, dia melonjak dan berteriak; Aniiiiiiiiii…. Nida minta kita jemput dari rumah sakiiiiiiiit…
*HK- End Of August 2004
|
Banjir! Oleh Arsusi Ahmad Sama'in "Banjir,!", jantungku berdebar kencang ketika membaca sebuah media masa yang berheadline Surabaya banjir,"Oh My God!" mataku nanar, segera aku tarik kursi mengabil posisi. Sebelum membaca aku sibuk meneliti gambar besar yang di pajang pada berita itu,"Sebelah mana ini,?"gumamku. Aku terus mengamati gambar besar itu, tetapi sudut-sudutnya sama sekali aku tak mengenali, ya sama sekali,aku tak mengenali kotaku sendiri, genangan air telah menyamarkan ciri-ciri kota tersayangku, Lumpur yang telah memudarkan warna-warni kotaku. Ku alihkan pandangan mataku kebawah, disitu tertulis,10 kota terendam di Jawa Timur,"Ya Ampuun...," jeritku, kuteruskan membaca,"Setidaknya 270 rumah terendam, 64 di antaranya hanyut,juga delapan jembatan hancur. Semuanya dihantam air bah bercampur lumpur yang berasal dari sumber air Brantas di Batu. Air menggelontor membawa lumpur dan bebatuan lantaran hutan yang telah gundul, "Ya Allah..."Aku mulai sedih, terbayang kesedihan orang-orang tua dan anak-anak yang lemah, miskin, yang tinggal di gubuk pinggiran sungai brantas itu. Ku teruskan membaca berita, Di sepanjang wilayah Rejoso dan Ngopak (Grati), sekitar 62 mobil terjebak kemacetan, jalan-jalan utama macet total,"Ya Tuhaan,!" hatiku jadi perih. "Kami terjebak mulai pukul 00.30. Saya nggak tahu. Tiba-tiba air seperti tumpah dari langit. Kita hanya mengharapkan bantuan agar diderek. Tapi, sampai 12 jam di sini, tak ada bantuan yang datang," tandas Kusno, sopir bus Akas Pariwisata di depan PT CSI, Rejoso, kemarin siang pada koran itu,"Yang sabar ya pak," celetuku tulus sembari membuka halaman koran hendak melihat sambunga beritanya.
Selain di daerah tersebut, bencana terjadi di daerah Kediri, Nganjuk, Ngawi, Banyuwangi, dan Jember. Kondisi genangan air itu mengganggu daerah pertanian, permukiman, serta jalan,"Emmm," aku terdiam sejenak, lalu kurobohkan tubuhku ke kursi, angankupun mengembara kesana-kemari.
Ya Allah, wabah Sars masih menghantui penduduk dunia, muncul berita yang heboh Indonesia pasien HIV-nya meningkat, kini ada flu burung, sekarang banjir yang meluas,'Uffff!" Aku menahan nafas, kulipat kakiku keatas kursi sembari memejamkan mata, aku mencoba mengheningkan fikiranku guna mencari jawaban dari banyak pertanyaan yang tiba-tiba hadir menyeruak dan menghentak dengan berbagai kejadian.
Ya Allah, saya yakin ini semua bukan hukuman bagi maklukmu yang melata di bumi ini, saya yakin ini hanya sebuah akibat dari perbuatan manusia, ya manusia! Dialah yang harus bertanggung jawab serta yang harus menanggung akibat, oleh sebab dia yang berbuat,! Ya Allah, akan tetapi kenyataannya seluruh isi perut bumi menikamati akibat dari kelakuan maklukmu yang bernama manusia itu.
Yang dulu burung memiliki sarang, kini harus hilang tergenang, semut, oh semut dikotaku itu pasti semutnya mati semua, darahku berdesir memikirkan nasib semut, duh! cacing, ulat duh! masih banyak lagi korbannya,"Ya Allah, kenyataannya kekuatan-Mu begitu nyata, batas kekuasaannya bukan hanya sebatas di Jakarta atau Amerika, kekuasaan-Mu luas seluas bumi langit seisinya, tiada kata sulit bagi-MU untuk meneggelamkan dan menghanyutkan bumi seisinya sekaligus,"Allahuakbar,!" sebutan ini memang pas sekali dengan sifat-Mu ya Allah, siapapun yang menciptakan nama itu dia pasti memiliki jiwa yang cerdas dan tangkas pandai, dan kalaupun dia seorang manusia, itu pasti manusia yang berguna sekali bagi sesamanya.
Rumah megah, mobil mewah,sepatu mahal dan barang-barang lainnya ternyata tiada guna, mereka sama sekali tidak bisa membantu pemiliknya, manusiapun tak bisa menjaga dirinya dari banjir,apalagi menjaga barangnya yang tiada daya dan kuasa, Huhh!,aku melenguh.
Aku bangkit membuka TV, "Woowww..!" teriakku, ternyata bajir itu sedang di kupas di CNN, disana terlihat orang-orang yang menuntun sepeda motornya, menggendong anak-anaknya dan barang-barang ala kadarnya, air menenggelamkan separo badannya, mereka berjalan susah payah di tengah air yang membanjir.
"Ya Allah, apa yang sedang mereka fikirkan ketika berjalan menyeberangi air,itu,?"tanyaku kepada Tuhan ketika aku melihat mereka cenderung mengeluh daripada berfikir mengapa terjadi banjir.
"Ya Allah apa yang mereka minta kepada-MU di saat seperti ini?, apakah mohon ampunan atau mohon pertolongan,? Ya Allah yang tiada Illah selain Engkau, hanya engkaulah yang tau jawaban dari pertanyaanku, hanya Engkaulah yang tau akan apa arti dari kejadian ini, karena manusia hanya manusia tiada daya tanpa pinjaman kekuasaan-MU.
"Ibu!, Nenek! ..oh!!, aku meloncat dari kursi, bergerak cepat menuju meja telepon, hendak menelpon mereka, telpon berdering tiada jawaban, "Dimanakah ibuku, neneku,?" masih tidak ada jawaban dari seberang, dan kini ada pesanan yang berbunyi, Telepon yang anda hubungi sedang dalam perbaikan, The phone you are caaling in repair, duhh! Aku mulai gelisah dan mondar-mandir tak tentu arah, perutku yang tadi lapar kini seketika terasa penuh,"Ya Haqq, lindungilah mereka dalam keadaan apapun," suaraku luruh dengan air mata yang siap tumpah.
Duh! ternyata aku juga manusia yang sama seperti mereka yang di terjang banijir itu, yang bisanya hanya panik dan memohon pertolongan, tiada merasa jika saya juga punya andil jadi si penyebabkan banjir itu, karena yang membuang sampah sembarangan itu juga saudaraku semanusia, yang menggunduli hutan itu juga saudara seperikemanusiaan, yang mencaplok dana banjir juga saudara sebentuk, yang membangun jembatan dan tempat-tempat berbeton itu juga mereka saudaraku, yang menyempitkan jalan resapan air itu juga teman-temanku,Duh! aku menepuk jidat, akal! yah akallah yang membuat manusia berkreasi semacam itu, entah akal sehat atau akal-akalan yang jelas itu adalah akal namanya.
"Kriiiiiiiiiiiiing,!" Teleponku berdering sekali, aku langsung meloncat deg-degan.
"Ibuk,! teriaku tanpa berucap salam terlebih dulu kepada si penelepon.
"Ibuk gundul eloe itu!, ini Vivi, jawab si penelepon yang ternyata dia adalah Vivi teman sekotaku di Surabaya.
"Eh Vi, sorry!, ada apa?, aku lagi tegang nih, mikir banjir," jawabku jujur.
"Aaah! Kamu ini kebiasaan apa juga di pikirin!,
"Mbak Ida ini, aku, nanti jam 4 sore jadi pulang ke Surabaya, pamit ya, sebulan lagi aku baru balik Hong Kong," tambah Vivi kenes.
"Gila Vi, Surabaya banjir lebih dari setengah meter, mobil macet, truk besar saja nggak bisa jalan, bagaimana kamu mau pulang ke Surabaya," cerocosku pada Vivi yang disertai rasa kuatir.
"Ah nggak apa-apa, kalau nggak bisa naik mobil ya jalan, kalau masih nggak bisa ya renang," jawabnya asal-asalan sembari tertawa.
"Ah dasar A.B.G konyol," batinku gondok.
Sudah gitu dulu ntar aku kasih SMS ke Mbak Ida dech, bagaimana berita selanjutnya soal banjir dan "byee,"
Suasana hening setelah telpon tertutup, sementara pikiranku masih menyusuri kota-kota di Surabaya, mengingat dan mencoba memahami suasana sebelumnya. Tiba-tiba aku teringat kakekku yang tinggal bersama Om Tomo di Blitar, Sreeet! Aku langsung menyamber gagang telepon mencoba menelepon kakek di nomer Om,"Tuuuut,tuuuuuuuuut," assalamualaikumm, jawab dari sebrang, "Eh siapa ini, maaf kakek Untung ada,?"
"Ini dari siapa,?" Tanya si penerima
"Dari Ida, Hong Kong,"
"Ouh Mbak Ida, ini Nanang Mbak, suara dari seberang nampak girang, dia adalah Nanang anak Om Tomo yang paling besar.
??????½ç’½??³ï¿£î¾µç??²Â€æ±¡ï¼´î¾?Eh! Nanang, Nanang tau nggak kabar keluarga di Surabaya,?"
"Eh, Bude dan nenek ada disini, sudah 3 hari, karena kakek kangen Mbak,"
"Ouh,jadi mereka disitu,Subhanallah,!" jawabku lega, dan segera kusambung, Mana!, mana ibu!,aku ingin bicara!, teriakku menyerobot kalimat karena tak sabar ingin mendengarkan suara orang yang paling aku takuti di dunia ini.
"Begitulah Da, cara Tuhan menyelamatkan kami, hanya dengan rindu kakekmu yang tidak biasanya memaksa kami untuk segera datang dengan mendadak ke Blitar ini, dalihnya rindu dan kangen, ia ingin segera bertemu dengan ibu dan nenekmu ini , dan bla blaa suara ibuku tampak lebih bijak dari biasanya, luruh, lirih aku sudah tidak mendengarkan kalimat ibuku selanjutnya, yang ada di kepalaku adalah, "begitulah jika Tuhan menghendaki, semuanya akan terjadi persis seperti kehendak-Nya."
Akhirnya akupun mendesah lega ketika menutup pembicaraanku dengan ibu, nenek, kakek Tante dan yang terakhir adalah Om Tomoku yang gendut.
Ya Allah, aku tidak tahu, apakah saat ini aku harus bersyukur atau terkagum kepada-MU oleh karena keselamatan ibu dan nenekku itu. Entahlah! yang kutau kini hanyalah tiada tempat yang kuat untuk bergantung selain hanya kepada-Mu, Dzat Yang Maha Kuat lagi Perkasa.
Hong Kong, Banjir.Feb.2004
|
|
Mereka Telah Kembali
Cerpen: Arsusi Ahmad Sama'ini
Mataku menerawang jauh, menerobos pohon-pohon rambutan. Aku memikirkan ayah. Terbayang di mataku pusara ayah. Gundukan itu telah rata dengan tanah, permukaannya tertutup daun-daun kering di hutan di Sumatra sana. Hutan dengan pohon-pohon yang rindang dan berdaun lebat. Burung berkicau bersautan sambil berloncatan dari dahan ke dahan. Hujan telah mengikis sedikit demi sedikit pusara ayah hingga akhirnya rata dengan tanah. Duh, Gusti Aku menjerit dalam hati.
"Nduk", suara seorang lelaki pelan menegurku.Aku menoleh, Paklik Kadis di sampingku. Aku menatapnya dengan lemas. "Kenapa, Nduk? Kamu ingat ayahmu? Aku tak menjawab. Kutarik mataku dari tatapan Paklik Kadis, dan menunduk. Perasaanku jadi perih ditanya begitu. Paklik Kadis adalah adik kandung ayahku, adik nomor dua. Aku merasa dekat dengan paklikku ini. Aku tidak tahu kenapa aku dekat sekali dengannya. Mungkin karena Paklik Kadis suka bercerita. Pak Dis suka menceritakan ayah kepadaku. Aku mengangkat wajah dan mencoba tersenyum.
"Pak Dis, kataku.Kelak aku ingin merawatmu sebagai ganti ayah,!" Pak Dis ikut tersenyum. "La iya toh nggak apa-apa," balas Pak Dis. "Asal aku panjang umur, dan kalau kamu sudah punya suami dan anak. Jadi nanti aku momong anakmu!" Aku senyum simpul. Perasaan haru menyelinap ke dalam dadaku mendengar jawaban Pak Dis. Selama ini Paklik Kadis memang perhatian denganku. Namun, ada juga yang tak kusukai dari Pak Dis. Paklikku ini tidak mau sembahyang dan puasa. Selain itu, dia suka gonta-ganti istri. Sudah 3 kali Pak Dis ganti istri. Pernah kutanyakan kenapa Pak Dis ganti istri sampai 3 kali. Alasan Pak Dis, karena tidak cocok. Mungkin itu benar. Tetapi menurut perkiraanku alasan utamanya adalah anak. Tidak hadirnya seorang anaklah yang membuat Pak Dis ganti istri sampai 3 kali.
"Pak Dis, emak bilang dulu waktu aku kecil, aku tak mau disentuh Pak Dis. Benarkah itu, Pak Dis? "Iya. Dulu kamu selalu lari dan malu-malu. Hanya simbok yang bisa memelukmu. Hanya simbok yang kamu izinkan mencium pipimu yang mungil. Bahkan pernah kamu tak mau diajak emakmu ke sini waktu hari raya Idul Fitri. Emakmu sudah membujuk dan merayu supaya kamu mau diajak kemari. Tapi kamu tetap menolak. Kamu itu dulu lincah dan mungil. Kamu punya wajah persis ayahmu walau kulitmu agak hitam, nggak seperti ayahmu. Aku jadi kepingin lagi melihat seperti apa ayahku. Dan karena itu aku jadi agak kesal pada simbok. "Pak Dis, kenapa sih simbok tak menyimpan foto ayah barang selembar?,Emak bilang ayah suka sekali berfoto, suka dandan. Kalau ada foto ayah?,
"Itulah yang juga aku sesalkan, Nduk" Pak Dis memotong kalimatku. "Simbok hanya menuruti hatinya sendiri, tidak memikirkan kamu. Simbok sangat mencintai ayahmu. Simbok shock waktu ayahmu meninggal dan selalu ingat dia. Simbok tak bisa melepaskan diri dari bayangan ayahmu. Maka simbok pun membakar semua foto ayahmu dan membuang barang-barang milik ayahmu supaya simbok tak terbayang-bayang ayahmu. Entahlah, Nduk, aku juga nggak paham dengan simbok. Kadang susah diingatkan, seakan dia selalu benar!" Pak Dis lalu diam. Pandangannya menerawang jauh. Entah apa yang dibayangkan dan dipikirkan Pak Dis. Mungkin tentang simboknya. Aku pun terhanyut dalam lamunanku sendiri, tentang ayah yang telah lama memenuhi panggilan Robnya. Duh, seperti apa, ya, wajah ayah? Benarkah mirip dengan wajahku? Seperti apa senyumnya? Bagaimana bentuk tubuhnya. Betapa inginnya aku bisa melihat ayahku! Aku ingin bertemu ayah walau hanya di dalam mimpi, ya Allah.
"Lho, paklik sama keponakan kok ngelamun bareng? Lik Sun membuyarkan lamunan. Istri Pak Dis itu keluar dari pintu belakang, mendekati kami di kebun rambutan. "Ayo, makan dulu! Ayo, Nduk. Sayur nangka lauk ikan asin kegemaranmu, sudah siap! ???? celoteh Lik Sun. "Ayo, makan dulu, Nduk." Pak Dis pun mengajakku. Tak lupa Pak Dis memanggil kucing dan ayam kesayangannya untuk diajak makan. Sudah hafal benar aku dengan kebiasan Pak Dis. Ini salah satu perbedaan Pak Dis dengan saudaraku yang lain. Pak Dis seorang penyayang binatang. Ia banyak memelihara binatang dan semua binatangnya diberi nama. Binatang piaraan itu akan lari mendekat jika Pak Dis memanggilnya. Sering juga Pak Dis tampak asyik bercakap dengan hewan-hewannya, seakan-akan makhluk yang berbeda itu memiliki bahasa yang sama. Kucing Pak Dis yang tertua dipanggil Nduk, persis cara Pak Dis memanggilku. Jadi merupakan hal wajar jika Pak Dis makan sembari cerewet sama ayamnya yang berantem rebutan makanan atau kucingnya yang enggan makan.
Ketika kami sedang makan, terdengar suara kambing di luar. Kulongok dari jendela samping. Pak Wan, adik Pak Dis, sedang memberi makanan kepada kambing-kambingnya di kandang. Langit redup. Mendung tebal mengantung. Dari jendela pula kulihat beberapa tetangga tengah sibuk mengumpulkan kayu bakar. Ada juga yang memunguti jemuran lain supaya tidak basah kalau hujan. Sambil makan, aku mengamati mereka. "Pak Dis. Itu yang berewok, siapa namanya, Pak Dis?" tanyaku. Kuarahkan telunjukku ke luar jendela, ke arah laki-laki separo baya yang mengenakan surban dan menggendong anak kecil yang sedang lucu-lucunya. "Itu Pakde Kadam menggendong cucunya. Yang digendong itu anak Mas Hamim. Pakde Kadam itu waktu kecil teman ayahmu. "O, ya?" "Iya. Dia banyak tahu tentang ayahmu,kata Pak Dis. Aku menatap lekat Pakde Kadam dari kejauhan. Hatiku berbunga-bunga. Entah ada apa dengan perasaanku. Aku selalu tertarik dengan orang-orang yang pernah dekat dengan ayahku. Aku selalu hormat dengan teman-teman ayahku. Bahkan aku merasa aku ini selalu sok akrab dengan mereka.
"Tambah nasinya, Nduk! celetuk Lik Sun. "Wah, sudah Lik" sahutku. ???? Nanti kalau kekenyanagan, nggak bisa makan rambutan! Hahaha..". "Alaaah, kalau nggak habis, ya dibawa pulang saja. Rambutanmu dewe ae kok?" balas Lik Sun. "Pak Dis!!" Ada seseorang memanggil. Pak Dis menoleh ke luar. "Ada apa, Mut? "Enggak. Itu tadi aku seperti dengar tawanya Pak Sama'in. Memang ada siapa di situ? "O, ini! Ini ada fotokopinya Pak Sama'in!" sahut Pak Dis. Kami tertawa.
O", ya sudah" kata Mbak Mut. "Saya kira Pak Sama'in pulang gitu" kelakar Mbak Mut, tetangga Pak Dis.
"Memang tertawaku seperti ayah, Pak Dis?" Seketika aku bertanya. "Ya, begitulah" jawab paklikku. "Nada suaramu seperti ayahmu. Ayahmu itu orangnya sabar, tapi juga keras. Ya, seperti kamu itu. Juga pandai menyanyi seperti kamu. Suaranya bagus. Dia orang seni, tapi imannya kuat!"
"Iya?!" Aku terkagum. "Dulu ayahmu malah pernah ikut nandak di paguyuban ludruk. Dia juga pandai menari lo? Kalau menari, lemes tangannya seperti perempuan!" "Ah! Masak sih, Pak Dis?"
"Iya! Dia juga nggak lepas dari kalung hitamnya. Ya, seperti kamu itu suka sekali pakai kalung hitam.
Kata-kata Pak Dis membuat aku tercenung. Kok semua milik ayah, ada padaku sih? Ayah suka seni, aku juga. Cuma bedanya, ayah dulu menyanyi dan menari di pentas ludruk, sedang aku di sendratari, karaoke, juga band. Ayah juga suka pakai kalung hitam. Bedanya, kalung hitam ayah hitam berliontin siung macan, sedang kalungku berliontin emas permata. "Makanya sudah selesai semua ini?" Lik Sun keluar dari dapur. "Sudah, sudah. Diringkas aja, sahud Pak Dis. Aku berdiri, kemudian membantu Lik Sun memberesi meja makan, membawa piring-piring kotor dan mencucinya. "Nduk, nanti kamu capek,kata Lik Sun. Sudah, biar kucuci sendiri saja! "Walah, sudah biasa, Lik" kataku. Pekerjaan semacam ini memang sudah biasa kukerjakan sejak lepas SD. Akhirnya Lik Sun membiarkan aku membantunya mencuci piring. "Lik Sun, sebentar lagi aku mau pulang saja, kataku ketika pekerjaan selesai. "Loh, kok buru-buru, Nduk? Mau hujan, nanti kehujanan di jalan. Kamu kan mudah pilek?" "ku takutnya nenek mencariku, Lik. Soalnya aku nggak pamit. Pulang sekolah, bablas ke sini. "Ya, sudah. Sana ke Pak Wan dulu sebelum pulang. Dia kan paklikmu juga. Dia juga yang mengurus kebun ayahmu, ujar Pak Dis yang tiba-tiba sudah di dekatku. Pak Dis benar. Pak Wan selama ini yang mengurusi kebun ayah. Pak Wan juga yang mengatur pemasukan dan pengeluaran. Tapi Pak Wan tak pernah cerita tentang ayah kepadaku. Pak Wan tak pernah menceritakan seperti apa ayahku. Aku melenguh. Seandainya Pak Wan suka bercerita tentang ayah, pasti aku sudah mencarinya tanpa perlu disuruh-suruh.
***
Pak Dis pun kini telah menjadi kenangan. Pertemuan itu ternyata menjadi pertemuan terakhirku dengan Pak Dis. Paklikku yang selama ini sangat dekat denganku itu kini sudah menyusul ayah, pulang ke Rahmatullah.
"Tet, tet, tet" bel runahku berbunyi nyaring dan bunyi bel pintu itu membuyarkan lamunanku tentang kenangan terakhir bersama Pak Dis. Aku menghela nafas, lalu beranjak ke pintu depan dan membukanya. Seorang lelaki muda berdiri di depanku.
"Bisa bertemu dengan Mbak Eda?" "Iya saya Eda,kataku. Lalu kupersilakan dia masuk. "Mas ini siapa? tanyaku, setelah kami duduk. "Gini, Mbak. Nama saya Imam. Keperluan saya kemari, langsung saja ya, Mbak? Yaitu untuk memberikan kabar. Tadi pagi Pak Wan jatuh dari pohon rambutan. Kami sudah membawanya ke RSU Nglegok. Tetapi Tuhan berkehendak lain, Mbak.
"Jadi, Pak Wan meninggal?" desisku. Mas itu mengangguk pelan. Aku lemas. Kupejamkan mata, aku berdoa. Pak Dis baru saja, kini Pak Wan pun telah tiada. Ya, Allah. Ampunilah dosa Pak Dis dan Pak Wan. Hari ini aku bersaksi, Engkau benar-benar Maha Kuasa atas hidup-matinya manusia. Minggu lalu kami masih berbagi cerita dan bercanda dengan mesra. Kini Pak Dis dan Pak Wan telah tiada.
Satu-satu telah tiada. Ayahku, kakekku, simbokku, Pak Disku, dan kini Pak Wanku dan Aku sendiri juga akan mati mungkin besok, lusa, atau mungkin hari ini juga seusai bicara dengan tamu sang pembawa Berita.
Kuseka mataku. Maha Benar Allah dengan segala firman-Mu. Engkaulah Tuhan yang menggegam bumi dan langit beserta isinya. Semua makhluk akan kembali pada-Mu. Hanya pada-Mu.
"Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiuun"."
HongKong, September 2003
|
Kecopak Suara Hati Nisa dan Ibunya Cerpen : Arsusi Ahmad Sama'in Bu Mary berdiri termangu di depan jendela, hari masih pagi, udara cerah bermega putih bersih, sementara bunga-bunga di halaman juga sedang berkembang mekar, warna-warni dan tertata rapi. Sesekali Bu Mary kelihatan mendesah dan menghela nafas agak panjang, "Ya Allah, nikmatmu sungguh tiada terkira, kau berikan aku suami yang baik dan seorang anak yang manis, cerdas dan sederhana,". sebutnya waktu itu. "Nisa Akbar!," adalah nama anak Bu Mary satu-satunya, nama itu pemberian almarhum suami Bu Mary, ayah Nisa yang bernama Ali Akbar. Sewaktu Nisa lahir ayahnya begitu bahagia dan bangga sekali, dia ingin anaknya kelak menjadi seorang yang berwawasan luas dan berpendidikan tinggi, demikian juga dengan keinginan Bu Marry.
Bu Mary kembali mendesah, dan hampir saja airmatanya tumpah, dia ingat suminya yang sudah lama meninggalkannya bersama anak semata wayang mereka. Saat itu suaminya minta ijin untuk nekat merantau ke Pulau Sumatra, menyusul saudaranya yang kebetulan tugas dan betah disana, tujuannya dia ingin bekerja dan mendapatkan uang demi Nisa anaknya, demi cita-citanya yang ingin sekali anaknya bisa menjadi orang pintar yang mungkin juga bisa menjadi besar. Namun takdir menentukan lain, Pak Ali Akbar kecelakaan ketika hendak berangkat kerja, dia meninggal seketika!, sejak saat itu Nisa sudah resmi menjadi anak yatim, sedang usianya baru menginjak 9 bulan.
Semuanya soal Bu Mary dan Nisa berjalan begitu saja, mengalir bak air sumber yang bening dari pusara menuju ke pusara, Bu Mary mengencangkan niatnya yang hanya satu yaitu dia ingin membesarkan Nisa, ingin menyekolahkan dan membesarkan Nisa selayaknya anak-anak tetangga, dia tidak hendak menikah apabila pernikahan itu akan mengganggu hubungannya dengan anaknya.
********
Tak terasa kini Nisa sudah berusia 22 tahun, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya, Nisa juga calon penulis handal, sudah tak terhitung karya sastranya yang dimuat oleh media masa,.
Sejak balita Nisa sudah menampakan kecerdasannya, dia suka caplas-ceplos ngomong sendiri untuk menirukan perkataan dan percakapan orang dewasa, teman sepermainanya juga gaya gurunya ketika mengajar dia di kelasnya, bahkan dia juga suka menirukan gaya kakeknya ketika menghardik dia disaat nakal.
"Huufff,"Bu Mary mendesah lalu tersenyum, dia teringat masa kecil Nisa yang agak beda dengan saudara-saudaranya, sejak usia tiga 4 tahun Nisa sudah bisa menulis namanya,ibunya, kakeknya, sepupunya dan om-omnya dan.....,semua masih sebatas nama.
Masih jelas juga di dalam ingatan Bu Mary ketika Nisa melonjak-lonjak kegirangan saat ditawari naik kereta kuda yang disebutnya si dokar, kebandelannya Nisa ketika merobek-robek buku temannya, juga kebiasaanya menggigit telinga dan pundaknya anak-anak tetangga hingga kadang Nisa bisa menimbulkan keributkan diantara ibu-ibunya. Ada juga yang membuat Bu Mary geli, yaitu ketika ingat kebiasaan Nisa diwaktu SD kelas satu hingga kelas 3, dia biasa pulang tanpa buku, pencil, juga tas sekolahnya sekalian, ketika ditanya Nisa yang polos menjawab, tasku dan semuanya sudah aku kasih teman, aku bagi-bagikan,".
"Huufff,.."Bu Mary mendesah lagi dan lagi, ketika-tiba pintu terbuka dan "Buuu," teriakan seseorang dari arah belakang, Bu Mary menoleh terlihat Nisa sedang membawa kacang panjang dan mentimun yang lumayan banyak,
"Darimana itu Nis,? tegur Bu Nisa agak heran,
"Dari Bude!, barusan saya bantuin dia memetik kacang disawah, dan dia kasih saya sebagian ha ha ha," jawabanya sembil tertawa.
Bu Mary menggeleng dan membantu Nisa memberesi kacang panjang dan mentimunya,
"Bu entar siang kita makan nasi lalapan ya, biar aku minta kakek sembelih temanku, dia akan ku goreng kering dengan bumbu yang sedap untuk disantap, he he hee,"Nisa cengengesan, sementara Bu Mary hanya memandangi anaknya dengan nada heran tanpa menjawab sepatah katapun, "Konyolnya persiiis bapaknya,batinnya. Bu Mary faham jika yang dimaksud temannya adalah ayam, kakek Nisa punya banyak ayam, ayam kampung yang lezatnya sudah diakui oleh banyak orang, telornya juga bisa dibuat jamu yang cees pleng!.
**********
Pagi beranjak siang, siang beranjak malam dan tidur hingga datang pagi yang baru lagi, Bu Mary celingak-celinguk mencari anaknya, "Sejak pagi Nisa belum ada suaranya, gumam Bu Mary penuh tanda tanya.
Biasanya Nisa bangun lebih pagi, sholat dan memutar musik dari tape recorder atau radionya. Tetapi hari ini ada yang aneh, matahari sudah nyelonong masuk kerumah-rumah dia juga belum membuka pintu kamarnya, sepi tidak ada suaranya sama sekali.
"Nisa!, panggil Bu Mary sembari mengetuk pintu kamarnya pelan, dari dalam terdengar suara jawaban yang lemah dan pelan, pelan sekali.
"Nisa kamu kenapa!!," saut Bu Mary cepat mulai panik, pintu di dorong keras-keras, pintu terbuka karena tidak dikunci.
Bu Mary menyeruduk masuk, mengamat-ngamati putrinya, seakan meneliti takut ada yang luka atau ada yang cidera, dia juga membuka selimut dan menutupnya pula, dia duduk dan mengusap kepala Nisa, dia membatin "Tidak panas,?!"
"Kamu kenapa,? Bu Mary berbisik di telingan Nisa, Dia tidak menjawab, tetapi bergerak menggapai dan merengkuh tubuh ibunya, ditariknya sang bunda, dia ajak untuk berbaring di kasur, dia mencium ibunya dan berkata,"Bu aku ingin merawat ibu dengan tanganku sendiri,aku mencintaimu sama dengan aku mencintai Surga Tuhanku., Bu Mary mengencangkan dekapannya pada Nisa, Nisa diam! Suasana jadi hening dan bertambah sepi sekali.
"Nisa tidak apa-apa Bu, Nisa hanya kangen ayah, Nisa ingin melihatnya, Nisa ingin nanti ketika wisuda disana ada ayah dan ibu disampingku," suara Nisa melemah dan airmatanya tumpah.
Bu Mary tertegun, belum pernah dia melihat Nisa secengeng ini, selama usianya ke 22 tahun, baru sekali ini dia berfikir romantis seperti itu, dan ungkapan inilah yang paling ditakutkan oleh pendengarannya, dia kawatir jika semua itu akan menimpulkan bunyi derit menggigit dari sisi hatinya yang perih.
Mata Bu Mary mulai berkaca-kaca, sambil mengelap air mata di pipi Nisa Bu mary mencoba mengeluarkan kata-kata.
"Nisa keinginanmu akan terpenuhi Nak, Cuma Nisa tidak bisa melihat ayah melalui matamu yang terbuka, ayahmu ada bersama kita dan selalu bersama kita, bahkan serkarang dia telah menyatu kedalam tubuhmu, ayahmu ada padamu Nis, ada pada senyumu, tawamu dan candamu, bahkan kalau boleh jujur hatiku sering teriris perih melihat kenyataan bahwa semua yang ada pada bapakmu ada pula padamu, semuanya!, perhatikan rambutmu, kulitmu juga persis ayahmu, kamu coba perhatikan Om Dewa, Om Danu mereka semua memiliki mata yang sama dengan matamu, jadi sebenarnya kau selalu bersama ayahmu Nis, bersama dalam satu aliran darah dan denyutan nadi, tak terpisah sebelum mati,".
Bu Mary diam, masih ada sisa-sia tangis melalui sedotan hidungannya, ada rasa iba, sayang dan cinta, semua mengeroyok perasaan Nisa pada ibunya, "Terimakasih ibu telah membesarkan Nisa, telah mendidik Nisa dan semuanya, Nisa berharap semuanya itu di terima oleh Allah SWT, sehingga kelak di akherat saya bisa melihat ibu tersenyum dengan mahkota intan dan permata di surga-Nya, ucap Nisa lirih, mantab yang disertai oleh suara sesenggukan karena tangis dan air mata.
Nisa jadi merinding dan tersungkur di depan ibunya, sejuta rasa memenuhi kepala dan dadanya,"Ibu, aku sayang ibu, Nisa tak akan meninggalkan ibu, Nisa ingin bekerja untuk ibu, Nisa ingin ibu bahagia dan bisa menikmati sisa-sisa cinta ayah yang di titipkannya melalui aku. Pelukan mereka berdua kadang kendor kadang erat seiring dengan emosi jiwa dan kecopak suara hati Nisa dan ibunya.
Nisa berpikir dalam diam, ibunya sesekali mengisak, kini mereka saling memeluk, anak beranak itu berpelukan, mereka sama-sama diam membisu.
Nisa berfikir dan membayangkan,"Betapa susah payahnya ibunya dulu menjaga,mendidik sekaligus bekerja demi masa depannya,".
Bu Mary berfikir,"Kasihan Nisa tidak memiliki ayah, ayahnya sudah meninggal sebelum dia bisa mengenang wajahnya, dia benar-benar-perlu kasih saying agar jiwanya bisa tertata layaknya anak yang memiliki orang tua lengkap,".
"Kasihan Ibu.., dia perlu dicintai karena telah memberikan banyak cinta dan pengorabanan kepadaku dan ayahku, dia rela hidup sepi tanpa suami dan hanya karena aku, aku!, aku seorang bocah yang dititipkan Tuhan dan ayah kepadanya," bunyi hati Nisa.
Degan pikiran mereka masing-masing mereka merenung dalam diam hingga tak terasa pagi telah berganti siang, tukang sayur sudah memanggil-manggil untuk menanyakan apa perlu beli sayuran atau tidak, Bu Mar menjawab dengan,"Ya Pak tunggu sebentar," sembari bergegas kekamar mandi untuk mengusapi mukanya dengan air agar tak tampak sembab oleh karena tangis, tidak lama berselang Nisa juga bangun mengikuti ibunya.
*******
Kini telah tetap tujuan hidup Nisa, yaitu, dia ingin menggapai surga yang di titipkan Tuhan pada telapak kaki ibunya, keduanya saling melengkapi, memberi dan saling menyayangi, mereka hidup tentram penuh cinta kasih dan beriman hanya kepada Tuhan YME
Nisa, dari hari ke hari semakin mencintai ibunya, dia semakin dewasa, mantab dan siap menerima hidup dengan resiko apa adanya, karena hidup untuk di jalani bukan untuk disesali, itulah keadilan Tuhan, itulah kasih dan itulah cara Tuhan di dalam memberikan cinta-Nya, Dia mengatur serta memberikan kehidupkan sesuai dengan ukuran kita secara tepat!, tepat dan benar, inilah kita dan hidup kita!!!
.
Hong Kong, Mid.Feb.04
|
|
Pikiran Yang Pecah! Oleh : Arsusi Ahmad Sama-in Dana menggigit pencilnya, pikirannya sedang terganggu oleh lamunannya, dia sedang berpikir keras, apakah dia akan merayakan hari ulang tahunya atau tidak! Sebenarnya persolaan ulang tahun bukan hal yang aneh bagi Dana, oleh sebab dia biasa merayakan sejak kecil, terutama lagi ketika dia duduk dibangku SMP dan SMU, dia akan rela belepotan masaka dan bikin kue sendiri, tidak itu saja, Dana juga akan tergopoh-gopoh mempersiapkan kado ulang tahun jika, salah satu keponakan atau teman-temannya ada yang berulang tahun tanpa diminta. Kemarin ayahnya sudah menanyakan persoalan ulang tahun itu pada Dana; Dan, kamu mau ulang tahun dimana? Kamu ingatkan kamis depan adalah hari ulang tahunmu?..
"Iya Yah, ini aku juga sedang berfikir, antara ulang tahun dan tidak? jawab Dana waktu itu.
"Loh memang kenapa? Bukankah tahun ini adalah tahun yang baik bagimu?"
"Iya, Dana juga merasa sih, tapi...." ucap Dana tak diteruskan.
"Tapi kenapa Dan? Apakah kamu tidak ada waktu untuk membuat kue-kuemu? Kamu sedang sibuk dengan pekerjaan barumu? Jika sibuk , kamukan bisa pesan ke toko, pesan saja kue yang sesuai dengan keinginanmu.." jelas Ayah Dana. Padanya.
"Sudahlah Yah, kan masih ada waktu, besok lah, sekarang Dana harus kerumah temen. Jawab Dana menghindari pertanyaan selanjutnya."
"Oh, ya sudah."Jawab ayahnya singkat.
Houuhh! Dana membuang nafas, dia mencoba menepis kebimbangan hatinya, antara ulang tahun dan tidak ulang tahun, dibantingnya pencil, dirapikan meja kerjanya, dana meraih gagang telepon, dia ingin berkunsultasi dengan Ustad Hanif.
"Assalamualaikum.." jawab dari sebrang telepon
"Walaikum salam Pak hanif, selamat pagi.." sambut Dana dengan senyum.
"Ya, pagi juga, ini dari siapa?"
"Dana pak, maaf! saya mau tanya sedkitit,"
"Soal apa Dana" suara Pak Hanif lembut
"Eh ini Pak, bagaimana pandangan Islam terhadap acara ulang tahun?"
"Ulang Tahun apa ini?.."
"Ulang tahun, yah ulang tahun, usia pak.."
"Oh, itu di Islam tidak diajarkan Dan, Cuma jika perlu acara itu bisa di Islamkan, seperti kesenian wayang kulit contohnya, bukankah dulu pertama muncul, kesenian itu tidak ada cerita dakwahnya, tetapi selanjutnya dipermak agar lebih manfaat, yaitu dengan dimasukannya unsure-unsur Islam para wali Allah, dan lain sebagainya." Jelas Pak Hanif dari sebrang telpon.
"Begitu ya Pak. Terus kalau V-day atau Valentine day itu?"
"Kalau V-Day itu jelas kebudayaan barat, tanpa sejarah yang kuat, jadi lebih abik dijauhi." Masih menurut Pak Hanif.
"Jadi kita boleh pesta ulang tahun ya Pak, walaupun itu adalah kebudayaan dari barat?"
"Boleh, tapi yah harus diIslamkan; semisal dengan ceramah atau membaca doa dan al Quran, karena itu ada sejarahnya, yaitu sejarah kelahiran Dana atau teman Dana, jadi bukan semata-mata meniru kebudayaan barat saja. Jawab Pak Hanif sembari tersenyum.
"Emm, kalau begitu sudah dulu Pak, Dana ucapkan terimakasih, wassalamualaikum."
"Walaikum salam warahmatullahibarakatuh.' Jawab Pak Hanif sembari menutup teleponnya.
Dana tertegun, diam. Mengapa Dana bimbang untuk merayakan ulang tahunya kali ini. 4 hari yang lalu Dana membaca hadis nabi yang menyarankan agar kita umat Islam menjadi umat yang berbeda dengan umat Yahudi dan Nasrani, sedang ulang tahun itu sendiri adalah kebudayaannya orang Yahudi, yang biasa dilakukan oleh orang-orang barat, bahkan tidak sedikit umat Islam yang merayakan ulang tahun dengan meniru polah orang-orang barat; minum arak, dansa dan peluk cium semaunya, jingkrak-jinkrak dan berdandan ala orang kafir dengan membusungkan dadanya juga menonjolkan aurat lainnya.
"Oh, Ya Rasul, betapa pribadimu sangat-sangat mempengaruhi gaya hidupku, hal ini tak lain, oleh karena aku sangat mengagumi gerak-grikmu. Selain itu engkau adalan sebuah contoh yang ditunjuk oleh Kecintaanku Ya Rohiem, Dzat yang tak pernah bosan mencintaiku didunia ini." Ucap Dana dalam hati.
*******
"Yah!! panggil Dana ketika melihat ayahnya tidak memperhatikan dia yang sedari tadi sudah menunggunya selesai membaca buku. Ayahnyapun menoleh.
"Sini!"seru ayah sembari melambaikan tangannya, Dana pun melangkah mendekati ayahnya.
"Yah, aku jadi ulang tahun, ayah mau nyumbang berapa?"
"Ih, kamu sekalian saja syukuran buat kelulusanmu, kan kamu belum syukuran juga.." ayah menimpali.
"Iya, gampang itu, Cuma dana buat Dana dong..?" Sembari tersenyum manja pada ayahnya Dana merapatkan dudukanya.
"Iya dech, saptu sore kita ke Supermarket, kita belanja bersama ibu dan adikmu sekalian."
"Mmm, Dana tidak usah ke Supermarket, cukup dirumah pak Surandi saja he hee.." Dana terkekeh sembari menunjuk kearah sebrang rumah. Ayahnyapun memandang bingung kearah Dana, Pak Surandi?? Pak Surandi kan hanya jualan beras?!
"Betul Yah, Dana mau dibelikan beras saja, sekalian bantuin dia, biar dagangannya cepet habis." Dana nyengir bersandar kepundak Ayahnya.
"Loh? Gimana seh?" ayahnya melirik Dana dengan penuh tanda tanya.
"Sudahlah Yah, ulang tahun kali ini, Dana ingin beli dan dibelikan beras yang banyak, terus kemudian nanti pas hari ulang tahun Dana, kita bagi-bagikan beras itu kepada penduduk desa di pinggir kota, nanti kita sekeluarga bersama-sama membagikannya." Sembari tersenyum Dana mengingat-ingat masa-masa KKN, karena desa yang dimaksud Dana adalah desa dimana dia ber-KKN semasa kuliah dulu. Tak disadari juga, dia juga menceritakan keadaan desa yang dijadikannya tempat ber-KKN waktu itu kepada ayahnya, desa kecil yang tanahnya sama sekali tidak produktif, kurang air dan berada jauh dari keramaian.
"Kasihan ya Yah,mereka kebanyakan pendudukanya minus, air juga susah, kasihanlah pokoknya! Jadi Dana fikir-fikir, akan lebih baikan jika anggaran pesta Dana itu dibelikan beras, daripada dimasak-masak untuk temen-temenku yang rata-rata mereka hidupnya berkecukupan, tidak kurang makan dan bisa belanja kado buatku, iya kan Yah?"
Mendengar semua itu ayah Dana tertegun, seketika dia menutup bukunya dan memandangi anaknya lekat-lekat, Dana salah tingkah, sehingga ayahnya beringsut memeluknya sembari berbisik;
"Alkhamdullilah, jika anaku sudah mampu menggunakan pikiran yang pecah."
"Pikiran yang pecah?? apa itu maksudnya, ayah? Tanya Dana tidak paham.
"Pikiran yang pecah adalah pikiran yang digabungkan dengan akal sehat secara seimbang dengan garis-garis ke-Islaman yang benar. Karena pikiran tanpa akal sehat itu dekat dengan kesesatan, dekat dengan setan! seandainya dikota ini ada 1000 orang seperti Dana, kemiskinan akan teratasi, bayangkan 1000 Dana yang setiap tahun akan ulang tahun, coba kalkulasi itu, berapa banyak dana yang terkumpul?" Jelas ayah padanya.
Dana tampak manggut-manggut mendengarkan tutur kata Ayahnya yang sangat masuk diakal itu.
"Jadi sebenarnya kita bisa berbuat dari diri pribadi dulu untuk mengentaskan kemiskinan, tidak perlu berfikir apalagi bersandar soal kebijakan pemerintah, karena pemerintah itu sendiri adalah wakil rakyat, yang berarti harus mau disuruh-suruh rakyat. Dan apabila pemerintah sudah berani menyuruh-nyuruh rakyat itu berarti sudah saatnya rakyat tidak perlu wakil rakyat lagi. Bikin sakit hati!"Tutur ayah panjang lebar, yang disambut Dana dengan semakin merapatnya kepelukan ayah.
Mata Dana mengerjab-ngerjap, Dana jadi ingat dengan hal yang bukan-bukan, ingat keadaan politik negara yang sedang susah, sedang carut-marut oleh kekuasaan yang tidak menngunakan pikiran yang pecah! Dia juga ingat dengan situs resmi Pemerintah Kota Madya Blitar.
Kemarin dia membaca berita disitus itu, perihal; sedang dibangunnya sebuah gedung perpustakaan diatas tanah seluas satu hektar, mata Dana melotot saat itu, dia tidak mempercayai berita tersebut. Dana membaca berulang kali dan meyakinkan jika itu adalah berita yang benar, hingga yakin!
Ternyata keadaan politik dan kebangsaan yang carut-marut itu telah membuat Pemda menggunakan pikiran yang pecah! Kota Blitar, sebuah kota yang mungil telah memberikan sebuah keputusan akan menghargai sejarah bangsanya dengan mendirikan ladang bacaan bagi pencinta ilmu, yang akan diberinama Perpustakaan Bung karno! Perpustakaan kepresidenan Indonesia. banyak yang berkorban didalam mendirikan perpus ini termasuk penduduk yang tinggal diarea pembangunan. Oleh karena mereka harus rela rumahnya digusur demi perluasan pembangunan perpus BK tersebut.
Berbicara soal Kota Blitar,disana ada beberapa situs sejarah, ada makan presiden pertama Indonesia, ada Candi Penataran, ada juga keluarga Supriadi si pahlawan PETA dan Museum Trisula. Jadi hal yang pantas jika keharuman nama-nama pahlawan itu harus tetap dijaga, agar setidaknya rakyat Indonesia yang tinggal di Kota Blitar akan tetap ingat dengan kerja keras dan perjuangan para leluhurnya.
Hehh! Dana melenguh, dia jadi ingat dengan surat pembaca yang dia tulis pada situs itu, sesaat setelah menyelesaikan membaca berita pembangunan kotanya yang cukup mengharukan baginya.
Yth. Pemkod Blitar
Sungguh! tidak ada alasan buat saya agar tidak bersyukur selalu. apalagi saat ini perndirian perpus internasioanl sudah terencana dengan jelas, Blitar akan segera memiliki perpustakaan besar.
Begini hendaknya negara besar itu. menghargai para pahlawannya disetiap kesempatan, bukan hanya pada hari-hari nasional kepahlawanan.
Jangan pula seperti politikus bodoh Indonesia masa kini, mereka heboh mendekati dan menghiba-hiba kepada rakyatnya untuk menyukseskan pemilu, sementara setelah pemilu berlalu tinggalah kebohongan dan kesuksesan yang palsu! penipu! tak ubahnya maling yang rakus, dia akan pergi begitu saja setelah mendapatkan harta dan benda dari pemangsaanya.
berjingkat-jingkat jika kepergok massa .menebar senyum kemana saja biar dianggap berwibawa.sandiwara! pura-pura!
Terimakasih buat sang pemilik ide pendirian perpus BK ini.
Dana Abdillah.
"Hhh1" Dana terjaga dari lamunanaya ketika ayahnya menepuk pundaknya,"Dan, mandi dulu gih, sudah sore.
"Iya Pak." Dana mengecup punggung tangan ayahnya, sebelum akhirnya pergi mandi.
Hong Kong. Ultah/ Maret 2004
H1 style="MARGIN: auto 0in">Cerpen:Arsusi Ahmad Sama'in "Betul kata-kata Aa Gym, jika apa yang di kenakan itu adalah topeng," sederet kalimat Nana keluar begitu saja. Dengan berbagai aksi Nana sibuk menceritakan pengalamannya kemarin malam di Masjid Lillahitaalah dekat tempat kerjanya, sedang penceramah itu adalah da'i kondang Aa Gym yang sedang di perhatikan Nana sahabatku itu, kata-kata topeng dari Aa Gym terus di pelajari dan di hafalkan dan mengiang, mendengung di kupingku sehingga memaksaku untuk merenungi dan membenarkannya pula. Bahkan Nana semakin banyak komentar dan ceramah setelah aku membenarkan pendapat Aa Gym, kemudian dengan mantab dia bilang;"Aku hanya akan mencari nama di hadapan Tuhan tidak manusia, karena hal itu tak ada gunanya." "Wah,wah, hebat! jawabku singkat Nana memang sosok yang luar biasa di mataku, dia yang sukses di kala usianya muda tak mempengaruhi gaya hidupnya yang periang dan manja, Nana juga bisa tampil dengan kesan apa adanya, bahkan banyak yang salah sangka dengan penampilan Nana yang sederhana itu, seperti contohnya ketika dia berada di warnet, ada seseorang yang bilang jangan utak-utik komputer itu, ntar rusak! Nana diam saja, padahal dia adalah seorang sarjana komputer, wah kalau aku mungkin sudah aku maki dia, kalau perlu aku kasih tunjuk ijasahku, tapi tidak dengan Nana. Nana takut sekali dengan klenik kesombongan, atau hal yang mendekati serta mengakibatkan kesombongan itu ada, karena dia selalu ingat dengan saran Rosullullah jika kesombongan itu akan merusak amalannya di akherat kelak, ya kesombongan bisa mengikis amal ibadah seseorang ini kata Nana kepadaku setiap saat, dan hal ini di ungkapkan tanpa mengurangi kerendahan hatinya. Senin kemarin Nana ulang tahun, ada seseorang yang mengirimkan hadiah, dan hadiah itu tidak main-main, peralatan make up kelas Amrik dan sebentuk pohon kecil yang batangnya terbuat dari emas, bunganya dari permata yang berwarna-warni, aku sendiri kagum dan tampak heran dengan orang yang mengirim hadiah itu, menurutku orang itu keterlaluan sekali di dalam memberikan simpati kepada Nana, karena aku tau sahabatku tersebut tak akan mengucapkan terimakasih banyak untuk pemberian itu, dan benar dugaanku, Nana malah ingin mengembalikan pohon permata itu, karena dia tidak tau akan di apakan kelak, untuk make-up dia juga terus terang kepadaku jika warnanya tidak pas dengan kulitnya yang kemerah-merahan dan hendak memberikannya kepadaku. Nana yang kupahami adalah Nana yang biasa berfikir secara realistis dan manfaat, Nana bilang "Aku tidak tidak mau di cap berlebihan oleh Tuhan,!". Sifat inipun berlaku juga kepada jodoh, meskipun banyak yang menyukainya Nana tetap biasa saja, dia tidak menanggapi dengan egonya, terkadang dia malah menangis kenapa masih ada orang yang menyanyanginya. "Aku bingung Rin, aku itu nggak ngerti harus bagaimana, sedang yang pasti jodohku di tangan Tuhan, dan aku sangat menghargai kasih apalagi cinta, mungkin orang bilang aku tidak memiliki pendirian, tapi terserahlah, aku hanya ingin menjadi diri sendiri yang tidak suka rugi, apalagi karena mahkluk laki-laki," tuturnya suatu saat ketika aku coba memprotes sikapnya yang berkesan mempermainakan orang. Nana memiliki sikap menghormati setiap laki-laki, terutama yang mengutarakan maksud hatinya, tapi bukan berarti Nana bisa berjanji ataupun mau begitu saja di pacari, bukan sok suci tapi lebih karena dia meyakini jika jodoh ada di tangan Tuhan, jadi Nana merasa percuma berpacaran kalau ternyata tidak jodoh, "Karena ini akan lebih menyakitkan, akan lebih baik jika kita melakukan hal-hal yang lebih positif seperti bekerja atau belajar apa saja dengan serius," kata Nana, dan hal itu dia buktikan dengan dirinya yang tidak pernah mengeluh ataupun men-demo Tuhan dengan status jomblonya pada usianya yang sudah hampir berkepala tiga. Pendapat orang dan tetangga tentang Nana yang suka pilah-pilih calon suami itu sama sekali tidak benar oleh karena pada kenyataannya nana juga pernah mengambil jalan pintas untuk menemukan suami dengan cara berpacaran yang akhirnya bubar, oleh karena Nana merasa berpacaran terlalu banyak nafsunya daripada kasihnya, akhirnya Nana menyerahkan semuanya kepada Kekasihnya Yang Maha Mengetahui atas segala yang belum terjadi, hingga rasa nyaman dan amanpun hinggap dan mengelilingin diri Nana.
"Nana berumur panjang,". selorohku ketika aku melihat dia masuk pekarangan rumahku dengan jilbab yang berkibar tertiup angin, dia mengucapkan salam dan berjalan menuju ruang tengah ketika ku panggil masuk kekamar, dia tersenyum sembari membanting tubuhnya di kasurku, sebentar kemudian dia bangun dan duduk ,diam!, akupun membuka perbincangan dengan menanyakan kegiatannya barusan di pantai, "Gimana Na, acaranya seru nggak,?" "Seru apanya,sebel iya,!" jawabnya agak sewot. "Memang kenapa Na,? "Biasa itu si Ennik sok pinter, dia sok alim,"
"Loh, emang kenapa dia,?"
Nana tak menjawab hanya mendengus dan mengambil posisi tengkurab,
"Rin, kenapa sih orang harus bangga dengan dirinya sendiri, kenapa sih harus ge'er, bukankah itu adalah kesombongan, hanya dengan memakai jilbab saja sudah merasa dia ahli surga, mentang-mentang sering kemasjid dia merasa masjid itu wilayah kekuasaannya, milknya dan huh!" omel Nana sembari plecar-plecur, Nana memang tidak suka memendam pendapat, apalagi soal hubungannya dengan Tuhannya.
"Islam itu manis, Islam itu indah dan flexible,Islam bisa di terapkan di segala zaman, kenapa kita harus kaku cara menerimanya, bukankah itu akan mengurangai simpati seseorang terhadap Islam?"Tambah Nana dengan nada berapi-api sembari memainkan tangannya persis pemimpin lagu Indonesia Raya.
"Okey!, take esay girl, sekarang bagaimana kalau kita makan dulu, aku lapar, ada sayur asem, come on,," gayaku mencairkan hati Nana.
"Came on girl,!" ajakku sekali lagi sambil melangkah ke meja makan.
"Come oooooooon girl, ini asyik banget tempenyaaa,!"teriakku dari ruang makan, ku dengar Nanapun sudah mulai menyeret sandalnya teplak-teplek.
Jam 3 sore Nana baru pulang ke rumahnya, dia langsung menuju dapur setelah memarkir sepeda motornya, seperti biasa dia mencari ibunya, Nana memiliki kebiasaan mencium ibunya hingga njingkat, dan sebelum ibunya bilang,"Sudah!,Sudah Nana!, I love you too,!" dia tidak akan melepas ibunya.
Di kamar Nana kembali mengingat-ingat,:
"Jilbab itu topeng,"
"Syurban itu topeng,'
"Baju ini topeng,"
"Kemeja itu topeng,"
"Sepatu ini topeng dan masih banyak topeng-topeng lainnya.
"Terus yang penting itu apa?, yang penting adalah hati,karena hati akan berhubungan langsung dengan Tuhan Yang Maha Cinta,".
"Emh..,?! Nana mondar-mandir di depan cermin, tangan sebentar mengepal, sebentar bersedekap sebentar di satukan di belakang layaknya orang yang istirahat di tempat dan sebentar meremas ujung jilbab."Topeng!,Ya topeng,!"
"Benar sekali jika semuanya yang kelihatan ini adalah topeng, yah! topeng yang berguna untuk menutup ataupun topeng untuk mainan agar tampak lucu, ataupun....,Nana tersenyum simpul, dia berjalan mendekati meja riasnya dan mengambil sebatang lipstik, dia menuliskan kata "Topeng!" besar-besar pada kaca hiasnya, belum puas dia juga mengambil buku diarynya, dia menuliskan di sana dengan huruf besar-besar,"AWAS TOPENG!!," di bawah kata-kata itu di tuliskan juga,"Topeng perusak niat,penutup borok dan bunyik!".
"Ukh,! Nana menjatuhkan tubuhnya pada kasur, matanya terbuka lebar,dadanya naik-turun tak beraturan, tanpa berajak dari kasurnya yang empuk itu Nana juga menciptakan tulisan "Topeng!" pada atap kamarnya, pada dinding dan pada pintu dan pada setiap yang dia kenakan pada tubuhnya.
"Ha ha haa..,"Tiba-tiba Nana tertawa,
Kemudian dia tersenyum puas sekali seakan dia telah menemukan harta karun pada kata topeng yang memenuhi hatinya sedari pagi itu. Nana bangkit dari tempat tidur, dia menuju meja kerjanya mengambil diary, kembali dia menulis,"AWAS TOPENG DI MANA-MANA,!!!, jangan sering-sering memakai topeng karena topeng itu bisa menimbulkan penyakit kronis yang bernama kesombongan, efeknya akan menggerogoti amalan.
Kini Nana memiliki hari dengan sebuah kata topeng, kata topeng yang membuatnya nampak lebih percaya diri, tidak mudah heran dengan warna-warninya dunia dan tetek mbengeknya, Nana ingin hidup sebenarnya,sejujurnya dan no way dengan segala bentuk kemunafikan.
"Nana, kamu semakin hebat, kamu semakin tampak cantik dengan jilbab warna merahmu itu" pujiku suatu saat, namun dasar Nana dia hanya menjawab dengan menaikan sebelah alis sembari melirik sebentar dan berlalu.
Hong Kong. Januari 2004
|
|